Orang sering berkata bahwa ketika
lidah tak bisa berucap, musik bercerita.
Apakah itu benar?
Aku pun tidak tahu pasti.
Hanya satu hal yang kutahu, bahwa
dengan musik kita berbicara.
Karena kita berbicara, kita mulai
berbagi cerita.
Disinilah titik awal kisah kita
dimulai.
Aku dan dirimu dipertemukan ditengah
untaian symphony yang masih rumpang.
Tugasku dan tugasmu adalah
mengisi kekosongan yang tercipta.
Disini, dimana dunia kita yang
masih belum diketahui akhir ceritanya.
Sebuah melodi terdengar sangat
halus, sangat lembut dan terkadang sangat nyaring mengikuti tempo. Notasi demi
notasi dilantunkan dengan merdu namun sayangnya, tak ada seorangpun yang
mendengarkannya. Di menit selanjutnya, melodi dari lagu tersebut hilang lenyap,
diganti oleh bunyi dengusan seorang lelaki.
“Cih, Debunya
sudah banyak.”
Ya. Aku melihat ke arah biolaku yang
sudah dipenuhi oleh debu dibagian senar dan bawahnya. Spontan aku mengambil lap
dan minyak kayu putih untuk membersihkannya. Tak sengaja pandanganku tertuju
pada foto keluarga yang terduduk tak tersentuh. Entah mengapa aku merasa kesal.
Aku merasa dengki. Pada kedua orangtuaku sendiri tentunya.
Hal ini aneh
bagaimana seorang anak, — ya apalagi aku
anak tunggal membenci orangtuanya sendiri. Kesenangan mereka pada dunia bisnis
meninggalkanku sendirian di rumah sebesar ini setiap hari. Bahkan kami pun
tidak memiliki waktu bersenang-senang seperti keluarga pada umumnya di akhir
pekan.
Kau tahu hal
yang lebih parah? Aku tidak memiliki teman. Sebuah kalimat yang kesannya ‘tidak
mungkin’ — karena menurut beberapa orang setidaknya kita memiliki 1 teman di
dunia ini. Itulah kekuranganku, bersosialisasi. Bukannya aku tidak bisa, namun
tidak bakat. Aku cenderung lebih suka menumpahkan kata-kata melalui sebuah
melodi yang sinkron. Apakah itu salah?
Tidak terasa
rasa kesalku membuat senar E di biolaku putus.
“Mungkin aku
harus membeli beberapa senar baru dan senar cadangan.”
Bisa
dicatat, inilah akhir dari liburan kelulusanku. Sepi bagaikan padang rumput
sehabis hujan. Tidak ada suara lain selain bunyi biola. Suara handphone
pun tidak bisa memecah keheningan.
Aku hanya
berharap besok menjadi hari yang cukup baik. Setidaknya di hari pertama aku
sekolah di bangku SMA.
Aku ingin
seseorang mengisi bagian yang rumpang di hidupku..
Setidaknya
sekali dalam hidupku…
Aku mendengar bunyi alarm
handphoneku berbunyi menandakan sang fajar sudah menunggu di ufuk timur. Hal
itu secara tak langsung mengingatkanku kembali bahwa liburan telah berakhir.
Dan 1 jam kemudian, aku mendapati diriku duduk di kursi paling
belakang sebuah kelas. Kelas 1-D merupakan kelas baru yang seharusnya menjadi
keluarga untuk satu tahun kedepan. Namun
tampaknya anggota kelas ini masih sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Mungkin hawa keberadaanku cukup rendah di ruangan ini sehingga tidak ada orang
yang melihat apalagi menyapaku.
Hal tersebut
sudah biasa , namun setidaknya aku ingin mengikuti kegiatan yang aku sukai di
sekolah ini. Bisa kau tebak — ya, ekstrakulikuler musik.
Harapan itu seperti
jatuh bebas ke hadapanku dengan dibagikannya formulir pendaftaran
ekstrakulikuler. Tanpa kalang kabut, aku menuliskan kata ‘Musik’ dengan cepat
dan segera mengumpulkannya ke meja guru. Namun sesaat aku mengembalikan kertas
tersebut ke meja guru, Wali kelasku —yang bisa dipanggil Bapak Darby, sudah melesat
hilang.
“Guru sok
sibuk. Aku pikir aku harus menghampirinya pulang sekolah nanti.”
Tak sadar aku terus berbicara sendiri semejak
kemarin, dan kegiatan itu terhenti ketika aku harus mulai berbicara lagi dengan
seseorang, siapa lagi kalau bukan Pak Darby.
“Albert
Laviano”
“Panggil
saja Albert.” Ucapku singkat. Ini pertama kalinya aku memperkenalkan diri di
sekolah.
“Jadi kamu
ingin mengambil ekstra musik?”
“Ya, bisa
perkenalkan saya dengan guru pembimbingnya?” tanyaku formal.
Tiga detik
kemudian Pak Darby menjawab, “Kami tidak memiliki guru pendamping untuk ekstra
Musik. Anggotanya pun hanya kamu” jawabnya sambil membereskan kertas-kertas
dimejanya.
“Mengapa?”
tanyaku heran.
“Itu sulit untuk dijelaskan…sebenarnya..”
“Pak Darby!
Lihat berkas dokumen tahun lalu ini!” seru seorang guru. Otomatis obrolanku
terinterupsi, dan lihat! Dia langsung meninggalkanku tanpa memberi penjelasan.
Dasar guru sok sibuk!
Aku mulai melangkahkan kakiku ke
ruang musik tersebut, berencana untuk melihat seperti apa tempatnya. Ruangan
tersebut berada di pojok koridor lantai 2. Rasa dingin langsung menyengat
telapak tanganku ketika aku menyentuh gagang pintu.
“Mungkin
jarang ada yang masuk ke sini..”
Ruangan yang cukup rapi. Bergaya
arsitektur kuno, namun terlihat sedikit usang seperti lama tak tersentuh oleh
manusia. Sinar matahari jingga yang masuk melalui jendela besar di kiri tembok,
membuat ruangan tersebut semakin terlihat ‘hampa’.
Aku
mengamati setiap sudutnyadan pandanganku terpaku pada sebuah tas biola yang
terbuka di pojok ruangan, biola berwarna putih itu terlihat mencolok. Tanpa
sadar bulu romaku berdiri.
Kuambil
biola tersebut. Kumainkanbeberapa nada, namun aku terpaksa berhenti karena
muncul seseorang perempuan dari toilet yang berteriak dengan suara nyaring.
Tubuhnya tidak tinggi. Dia memiliki rambut pendek sebahu dengan kulit yang
putih. Kesan pertamaku, dia adalah perempuan yang galak namun berenergik.
“Ngapain
kamu pegang-pegang biola aku?!” tukasnya.
“Cuma iseng
main doang. Galak banget” jawabku. Dia tidak berkata apa-apa lagi, dan menyambar
biola nya dari tanganku. Lalu akupun bertanya lagi,
“Kamu siapa?
Bukannya anggota ekstra musik hanya aku saja?”
“Aku juga..
anggota ekstra musik. Oh ya, Melody.” Ucapnya sambil menjulurkan tangannya.
“Albert.”
aku membalas salamnya. Hangat.
“Kenapa kamu
diam sendirian disini?” tanyaku kembali
“Aku suka
diam disini sendirian.. disini tempatnya sang..” tiba-tiba ucapannya diganti
dengan ketukan pintu.
“Ada orang
di dalam?”
“Itu Pak
Darby. Jangan bukakan pintu!” Spontan dia menarik tanganku dan memasukkan
tubuhku bersama dengannya ke dalam lemari.
Sempit.
Hanya itulah yang aku rasakan.
“Albert,
Albert? Kamu ada disini?”
Aku sama
sekali tak menghiraukan suara guru itu.Perlahan mataku menatap mata Melody dan
dia menatap mataku dengan lembut. Dia memiliki mata berwarna hitam yang indah.
Pandanganku turun pada kalung yang dia kenakan. Kalung berbentuk sayap berwarna
putih itu amat menarik perhatian.
“Aku pikir,
aku akan menceritakan insiden 10 tahun yang lalu sebelum dia masuk ekstra
ini..” Pak Darby menggumam sambil melangkah keluar.
“Ayo kita
keluar” suara Melody memecah keheningan. “Dia sudah pergi.”
“Kenapa kita
harus bersembunyi?” tanyaku sambil melangkah keluar dari lemari.
“Aku punya
masalah dengannya. Menyebalkan. Guru sok sibuk” jawabnya ketus.
“Haah! Betul
dia sok sibuk!” jawabku merasa setuju.
“Ngomong-ngomong..
terimakasih ya. Udah nemenin aku sembunyi tadi hihi.” aku baru menyadari, dia
terlihat manis saat tersenyum. Belum sempat aku menjawab, dia sudah bicara
lagi.
“Mau aku
ajarkan satu lagu tidak?” tawarnya. Pikirku ini menarik.
“Boleh saja.
Lagu apa?”
“Dengar saja
dulu, mungkin kamu tahu versi lainnya.”
Dia mulai
bersiap dengan biolanya dan sebuah nada yang sangat indah terlantun. Lembut,
dan membuatku berimajinasi. Aku reflek membayangkan sebuah hamparan padang
rumput dengan tebaran bintang di langit malam. Sungguh indah.
“Claire De
Lune” ucapnya. Aku taksadar bahwa lagunya sudah selesai.
“Sejak kapan
ada versi biolanya?”
“Guruku
menggubahnya kembali untuk aku belajar. Dulu aku memainkannya dengan piano.
Mana biolamu? Kamu pemain biola juga kan? Sini aku ajari.” balasnya dengan
cerewet, namun itu lucu.
“Senarnya
putus, jadi tidak aku bawa ke sekolah.”
“Payah kamu.
Ini pake biola aku saja dulu.”
Pertama
kalinya, waktu sangat tidak terasa bagiku saat aku bersama dengan orang lain. Nada
yang keluar dari biola tersebut membuatku tenang. Tiap menit nya terasa
menyenangkan bagiku, dan aku ingin hal seperti ini terulang lagi.
“Rumahmu
dimana?” tanyaku seusai dia memasukan biola kedalam tasnya.
“Hmm di
Jalan Anggrek. Dekat perempatan depan.”
“Rumahmu
tidak jauh dari rumahku. Pulang bareng denganku saja. Mau tidak?”
Dia
mengangguk semangat.
Aku merasa janggal saat sepeda yang
kunaiki ini terisi oleh penumpang. Sepertinya kekosongan dalam diriku mulai
terisi, setindaknya sepuluh persen.
“Aku baru
pertama kali dibonceng seperti ini.” ucap Melody saat di lampu merah.
“Hmm.. Oh
ya?”
“Aku tidak
memiliki teman dan juga tidak dekat dengan keluargaku. Aku hanya bersahabat
dengan biolaku.”
Aku
bersumpah tidak salah dengar. Anak ini memiliki latar belakang yang sama
denganku. Aku tidak percaya pada takdir.Aku hanya merasa ini suatu kebetulan.
“Hey
lampunya sudah hijau!” teriaknya membuyarkan lamunanku.
Lima menit
mengantarkanku ke depan rumahnya yang bercat putih. Dia mengucapkan terima
kasih dan langsung lari ke dalam rumahnya. Aku masih terbayang saat berbicara
dengannya, sungguh menyenangkan. Caranya saat bermain biola juga terbayang saat
aku tidur. Ini terlalu awal untuk dinamakan cinta.
Aku tidak pernah merasa sesemangat
ini. Pagi hari aku kembali mengendarai sepeda. Mungkin ada rasa berharap pulang
bersama Melody lagi? Aku masih tak yakin. Di jalan, aku bertemu dengan Pak
Kasim, penjual bunga langganan mamaku. Dia selalu menyapaku setiap kali aku
melewatinya dan hari ini pun begitu. Senyumnya khas sekali sehingga aku reflek memberinya senyum.
Waktu
mengantarkanku pada sekolah dengan tepat waktu. Selama pelajaran dimulai, aku
merasa tak dapat berbaur. Aku tidak sadar terus-menerus memerhatikan jam dan
mencountdown jam pulang sekolah.
Apalagi alasannya kalau bukan —bisa kau tebak sendiri.
“Kau disini
rupanya. Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku saat melihat Melody duduk
membelakangi pintu sambil merangkak mencari sesuatu.
“Mencari
kalungku. Itu hilang semejak kemarin dan aku sudah mencarinya berkali-kali
tetap tidak ada.”
“Motif sayap
berwarna putih?”
“Darimana
kau tahu? Kau penguntit?”
“Bukan! Aku
melihat kau mengenakannya saat terakhir kita bertemu.”
“Maaf..”
“Nanti kita
cari lagi saja oke? Mumpung aku bawa biola, mau aku ajari satu lagu?”
“Kau mau
gantian ajari aku? Boleh saja. Lagu apa?”
“you must have know this song.” jawabku.
Aku
memainkan beberapa nada yang menurutku cukup enak didengar. Aku tidak
melihatnya sebelum aku selesai memainkan lagu tersebut dan ternyata, disaat aku
menengadah kembali melihat wajahnya, dia sudah dibanjiri oleh air mata sambil
bertepuk tangan riang.
“Bagus
sekali! Bagus sekali! Aku sampai terharu dengarnya.. hiks.” ucapnya dengan
riang.
“Ehm
terimakasih. Aku jadi tersanjung. Kau tahu kan itu lagu apa?”
“Sebenarnya
aku tak tahu. Kalau begitu beritahu aku.” jawabnya ingin tahu.
“Reminiscence in Air. Judul yang jarang
didengar sih. Ayo siapkan biolamu, aku ingin kamu bisa memainkannya untukku
suatu hari.”
Ini kedua kalinya aku menghabiskan
sore dengan Melody. Tawa, ejekan, dan curhatan mulai kami lontarkan bergantian,
baik melalui kata-kata ataupun juga dengan irama musik. Aku mengantarnya pulang
lagi dan ini mungkin akan menjadi kebiasaan baruku.
“Aku masuk
ke dalam duluan ya.” ucapnya saat aku tiba di rumahnya.
“Boleh aku
menjemputmu besok pagi? Kita berangkat ke sekolah bersama?” Tanyaku yakin.
“Dengan
senang hati, Albert.” balasnya manis.
--
“Sial! Aku terlambat!” teriakku saat
melihat jam. 06.20. Bagus. Untung masih ada waktu untuk menjemput Melody. Aku
mulai mengayuh sepedaku ke arah rumah Melody dan melihat bahwa dia telah
menungguku di depan gerbang rumahnya.
“Maaf aku terlambat.
Aku telat bangun.”
“Kayak sapi
aja kamu telat bangun, ayo sebentar lagi bel sekolah bunyi!” balasnya sambil
naik ke atas sadel sepeda boncenganku.
Seperti
biasa, di jalan aku bertemu Pak Kasim lagi. Aku sempat bercerita dengan Melody
kalau Pak Kasim adalah salah satu orang yang lumayan sering berbicara denganku
karena dia kenalan mamaku. Hari ini dia sedang merangkai bunga mawar putih dan
spontan menyapaku dengan suara keras.
“Hey Albert!
Jam segini kok baru pergi?” tanyanya heran.
“Telat bangun
pak! hehe saya tadi baru jemput teman baru saya yang duduk dibelakang
nih.Kenalkan Pak, Melody.” tukasku
Namun
suasana aneh tiba-tiba kurasakan. Mengapa Pak Kasim tidak meresponku? Bukannya
menyalami juluran tangan Melody, dia hanya tertegun diam memelototiku seakan
tidak mengerti apa yang kukatakan.
“Ehm.. Udah
mau bel nih pak kayanya, kita pergi duluan ya Pak.” Seruku sambil mulai
mengayuh sepeda kembali. Aku tidak melihat kembali ke raut muka Pak Kasim dan
terus mengayuh sepeda.
Kelasku sudah menanti di depan mata.
Ya 1-D. Aku berniat untuk melanjutkan tidur di jam pertama hingga jam ketiga.
Pelajarannya tak menarik perhatianku. Sosiologi dan sejarah, lebih baik aku
berjalan-jalan di alam bawah sadar saja. Aku sudah mengambil ancang-ancang
untuk menggeser meja dan melipat tangan untuk tidur, namun sesaat aku melihat
sebuah kalung berbentuk sayap putih yang terjepit di laci mejaku. Percis dengan
yang Melody punya. Bila dilihat-lihat, mejaku ini juga sedikit kotor
dibandingkan meja yang lainnya. Banyak coretan tipe-ex, bolpen dan ow… aku
menemukan tulisan dan sedikit bertanya-tanya dalam hati setelah melihat tulisan
“I like Claire de Lune so much.”
Aku berjalan lagi-lagi
menuju ruang musik. Mendapati Melody sedang berdiri menghadap jendela besar di
ruangan tersebut.
“Lihat kemari.” Seruku ringan.
Melody reflek melihat kearahku dan melihat kalung yang kujuntaikan
ditanganku. Matanya membesar dan lari menghampiriku.
“Darimana kau dapatkan ini?” tanyanya sambil menyambar kalung tersebut.
“Di...kelasku....apakah kamu pernah bermain ke kelasku?” tanyaku heran.
“Kelas 1-D kan? Aku tiap hari selalu bermain kesana..” jawabnya.
“Aku tidak pernah melihatmu meskipun hanya sekali.” Balasku masih bingung.
“Ya.. mungkin aku kasat mata di hadapanmu saat itu..” nadanya terdengar
sedih.
Seperti biasa aku mengantarkannya pulang ke rumah, namun saat itu dia tak
banyak bicara. Dia hanya mengucapkan terima kasih saat sampai rumah dan
langsung masuk tanpa mengatakan apa-apa lagi dan itu membuatku penasaran.
Hari demi hari berlangsung
seperti itu. Menjemput dan mengantar pulang Melody seakan menjadi rutinitasku.
Aku tidak merasa terganggu akan hal tersebut, malahan aku merasa ada yang
kurang apabila tidak melihat dirinya dalam waktu satu hari. Hal itu terus
berkembang sehingga menjadi sesuatu yang dinamakan dengan cinta. Aku merasa
diriku tenggelam di tengah lautan kebahagiaan saat bertemu dengannya. Namun
kebahagiaan itu terkikis sedikit demi sedikit saat kebenaran mulai terkuak
sedikit demi sedikit.
“Hai Pak Kasim!” sapaku
saat pagi hari. Hari ini Melody sakit sehingga aku tidak perlu menjemputnya.
“Hai Bert! Bagaimana
sekolahmu? Kamu masih suka membawa biola ya.”
“Ya..karena aku ikut
ekstra musik jadi aku tiap hari membawa benda besar ini.” Sambil menunjuk biola
di punggungku.
“Ekstra musik ya..
ternyata ekstra itu masih ada rupanya..” gumam Pak Kasim.
“Apa maksud Bapak?”
“Kamu tidak tahu insiden
10 tahun yang lalu?Ah.. Aku jadi teringat lagi akan sosok siswa perempuan di
gedung tersebut.” Bisik Pak Kasim.
“Perempuan apa? Mengapa?”
ucapku tak mengerti.
“Sudahlah Bert, itu masa
lalu tak perlu diungkit kembali.” Ucapnya sambil kembali ke dalam toko
bunganya.
Perkataan Pak Kasim
membuatku penasaran. Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi 10 tahun
yang lalu di gedung musik tersebut. Perlahan, kaki ku membawaku ke arah
perpustakaan sekolah. Disitu aku mengoprek-oprek berkas sekolah beberapa tahun
yang lalu. Aku menemukan sebuah artikel dalam koran yang usang mengenai insiden
tersebut dan terkaget melihatnya.
Siswi Perempuan Ditemukan
Tewas di Gedung Musik SMA
(12/10/04) arxnews.com. Seorang siswi
perempuan ditemukan tewas di gedung musik sebuah Sekolah Menengah Atas ****. Di
laporkan jenazah korban tergeletak kaku sambil memegang alat musik. Hasil otopsi
mengemukakan bahwa korban meninggal karena bunuh diri. Motifnya masih belum
jelas karena korban diduga tidak memiliki kerabat ataupun teman dekat.
Cuplikan
artikel tersebut membuatku semakin penasaran. Aku mulai mendatangi Pak Darby
dan bertanya sedikit mengenai insiden 10 tahun yang lalu.
“Bolehkah
saya tahu mengenai insiden di gedung musik
10 tahun yang lalu? “ tanyaku penasaran.
“Karena
kamu salah satu anggota ekstra musik, saya akan ceritakan..” jawabnya. Dia
mulai berdeham dan menceritakan sesuatu.
***
“Tidak!!!!!!!!!! Jangan sentuh aku!!!!” teriak
seorang perempuan.
“Lebih
baik kamu diam saja atau kamu aku keluarkan dari sekolah ini!” bentak seorang
guru laki-laki.
“Ampun!!
Tolong saya!!” seorang siswi berlari di koridor sekolah yang luas tersebut.
Akhirnya dia singgah di tempat dimana ia selalu bermain musik sendiri.
Berhubung dia adalah seorang violinist di sekolahnya.
Dia mengunci pintu ruangan tersebut yang
tidak lain adalah gedung musik sekolah. Namun suara langkah kaki semakin
mendekat. Dia mendengar suara tawa laki-laki yang ingin memperkosanya.
“Mau
lari kemana kamu? Lebih baik kamu keluar sebelum saya dobrak pintunya!”
Siswi perempuan itu panik. Dia menangis. Tak
menyangka kehidupannya akan seperti ini. Tak ada orang yang mungkin
menyelamatkannya saat ini. Lalu ia melihat tali yang cukup besar.
“Tidak
ada pilihan lain.” isak perempuan itu.
Ia
mengikatkan tali tersebut di sela-sela atap ruangan tersebut. Menyimpan beban
hidupnya pada tali tersebut. Pandangannya tertuju pada biola miliknya yang
masih terbuka di sudut ruangan. Ia menangis semakin keras. Penderitaan di dunia
ini tak kunjung berakhir. Lalu yang ia lihat kemudian hanyalah pandangan gelap
dan tubuh yang kaku.
***
Aku tertegun mendengar cerita itu. Aku
mengklaim sesuatu yang tak asing saat mendengar cerita tersebut. Entah mengapa
aku teringat akan Melody dan tiba-tiba ingin bertemu dengannya.
“Apa
bapak tahu siapa nama siswi perempuan itu?” tanyaku makin penasaran.
“Melody.
Saya ingat jelas nama dan wajahnya meskipun itu sudah lama.” jawabnya sedih.
Aku
tiba-tiba merasa pusing. Seakan tak ada yang beres saat ini. Melody.Bunuh
diri.Gedung musik.Biola. Hal-hal tersebut menjadi sebuah miskonsepsi yang tidak
jelas. Kepalaku terasa berkabut tak bisa berpikir apapun. Pandanganku kosong
tak bisa melihat jelas apapun.
“Terimakasih
Pak Darby.”
Aku berjalan pelan menjauhi pintu
meninggalkan Pak Darby. Kakiku lemas. Aku menempelkan kepalaku di dinding.
Kata-kata Pak Darby masih terngiang di benaknya.
Kenapa baru sekarang aku menyadarinya?
Kenapa harus Melody?
Aku menekan telapak tangan ke
dadaku. Sakit.
Perlahan
kaki ku membawa ku kembali ke gedung musik. Aku melihat Melody dengan senyumnya
yang khas tersenyum melihatku sambil menggengam biolanya.
“Hei
Albert! Mau dengar lagu baru?” tanyanya riang seakan tak ada yang terjadi.
“Boleh.”
Aku mendengarnya mulai memainkan biolanya. Suaranya indah
seperti biasa. Setelah alunan tersebut berhenti, hanya ada keheningan. Tidak
seorang dari kami bicara.
“Aku
mencintaimu.” jawabku memecah keheningan. Melody menatapku. Diam seribu
bahasa.
“Tapi kurasa kau sudah bisa menebaknya.” ucapku lagi
“Dan percayalah padaku ketika kukatakan bahwa aku juga
mencintaimu, Albert.” jawabnya tenang.
Aku
merasa berhenti bernafas. Jantungku serasa berdebar-debar. Apa aku salah
dengar?
“Walaupun tak ada hal yang lain di dunia ini, percayalah
aku mencintaimu.” ujarnya lagi pelan.
Entah mengapa aku menjadi sedih. Air mata tiba-tiba
keluar dari sudut mataku. Aku hanya merasa takut dia harus pergi —menuju
alamnya—entah
kapan aku tak tahu. Aku memeluknya perlahan. Dingin. Tubuhnya terasa dingin,
tak ada kehangatan sedikitpun. Namun aku merasa bahwa cinta tak mengenal apapun
—sekalipun
alam baka.
“Aku
ingin kau berjanji padaku.” ucap Melody perlahan di balik bahuku.
“Apa?”
“Aku
ingin kau memainkan lagu kesukaanmu saat hari ulangtahunku disini. Aku ingin
mendengarnya.” jawabnya
“Kapan
hari ulangtahunmu?” tanyaku kembali
“2
hari lagi.”
Aku
baru mengetahui itu dan firasatku merasa tak enak. Namun aku berusaha menebas
firasat itu. “I will.” ucapku sambil
tetap memeluk erat Melody.
Hari
mulai berganti. Aku mendengar berita bahwa gedung musik tua tersebut akan
dihancurkan. Ini benar benar gila. Aku mulai mendatangi pihak sekolah, mencoba
menentang pembongkaran gedung musik itu dengan alasan bahwa masih ada anggota
yang bertahan. Namun mereka tetap akan menghancurkannya dalam waktu 2 hari.
Mereka berpendapat bahwa gedung itu sudah tak terpakai dan usang. Kemudian gedung
tersebut akan digantikan dengan lapangan baseball.
Mengingat
bahwa usahaku sia-sia, aku mencoba bertemu dengan Melody —ya,
dia selalu ada di gedung musik— aku tak tahu, apakah ini akan menjadi
pertemuanku yang terakhir atau tidak, Namun aku mencoba datang meskipun aku tak
sanggup lagi melihatnya. Kepahitan ini bagaikan laut yang tak ada batasnya.
“Kau
datang.” ucap Melody saat melihatku. “Melody.” Aku memanggil namanya. “Apa kau akan pergi?” tanyaku kembali.
“Mungkin… Selalu ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, Albert.” jawabnya sedih.
Aku
terdiam. Tak menjawab apapun. Perlahan aku memeluk tubuhnya kembali dan dia
mulai membisikan sesuatu. “Berjanjilah kau akan menepati janjimu saat aku
ulangtahun.” jawabnya sambil tertawa. Aku mempererat pelukanku. Rasa takut akan
kehilangan benar benar menyelimutiku.
Dan
tibalah pada hari ulangtahun Melody. Aku berlari menuju gedung musik tersebut.
Tepat sekali, sudah banyak mobil-mobil besar penghancur bangunan, namun belum
ada satu pun yang beroperasi. Itu menjadi kesempatan untukku untuk masuk ke
dalam gedung musik tersebut. Tak ada sosok perempuan disana, Namun aku masih
melihat biola putihnya terbuka. Aku mengambil biola tersebut dan mulai
melantunkan sebuah lagu. Reminiscence in
Air.
Ditengah
untaian nada yang kumainkan, tiba-tiba aku melihat sesosok perempuan. Ya, itu
Melody. Dia melambai kepadaku sambil tersenyum. Aku menghentikan permainanku
dan berlari menghampirinya. Dia berkata, “Aku harus pergi.” terbitlah air mata
di ujung matanya. Aku menggeleng. “Aku jatuh cinta kepadamu seperti aku jatuh
tertidur.” ucapnya sambil tertawa. Bodoh, di saat seperti ini dia masih bisa
tertawa. Mulai terdengar teriakan orang-orang untuk menyuruhku keluar dari
gedung ini. Mungkin mereka mengetahui keberadaanku karena mendengar suara
biola.
“Lanjutkan
permainanmu. Aku ingin mendengar untuk yang terakhir kali.”
Teriakan orang semakin banyak. Bunyi traktor sudah mulai
terdengar namun aku tak peduli. Aku mulai memainkan lagu tadi. Sesaat air mata
ku keluar seakan berteriak. Mungkin ada hukumnya bahwa laki-laki tak boleh
menangis, namun tidak untuk hari ini. Aku masih melihat sosok Melody tersenyum
melihatku saat bermain dan 2 menit kemudian dia menghilang.
Traktor sudah menghancurkan bagian atap gedung.
Namun permainan musikku belum berakhir. Runtuhan-runtuhan gedung tersebut sudah
terpecah-belah sehingga aku bisa melihat langit dimana aku berdiri saat itu.
Sayangnya, hantaman selanjutnya sangat keras sehingga runtuhannya mengenai
diriku yang tengah bermain biola. Pandanganku tiba-tiba menghitam, aku merasa
darah keluar dari pelipisku ,dadaku terasa sesak seakan ada runtuhan besar yang menindihku dan
itu membuat membuatku tak sadarkan diri. Mungkin
untuk selamanya.
Orang
bilang, sad ending itu adalah cerita
dimana ada dua insan yang tak dapat
bersatu. Namun aku tidak merasa begitu. Kau tahu? Aku melihatnya. Aku
melihat Melody sekarang, di tempat yang sebetulnya juga tidak kuketahui. Dia
tersenyum kemudian memelukku. Sekarang rasanya hangat. Aku merasa bisa bersamanya,
dari saat ini sampai selamanya. Aku merasa belajar sesuatu. Cinta. Apabila
ditanya pada siapapun jawabannya pasti berbeda. Ada yang bilang sulit diraih —seperti
menanti pelangi di malam hari. Ada juga yang bilang bahwa cinta adalah
keajaiban yang membuat orang lemah menjadi kuat dan orang kuat menjadi lemah.
Namun sesungguhnya, cinta hanyalah sebuah kata, sampai seseorang datang ke
dalam hidupmu dan memberimu makna. Bagiku, cinta bisa diartikan sebagai mimpi
yang menjadi kenyataan setiap kali aku bertemu denganmu.
The King Casino - Ventureberg
BalasHapusThe https://jancasino.com/review/merit-casino/ King Casino is owned ventureberg.com/ by British casino operator Crown Resorts nba매니아 and https://deccasino.com/review/merit-casino/ operated by Crown Resorts. It is owned by British ADDRESS: CASTLE worrione.com