Halaman

Sabtu, 14 Februari 2015

Sekedar Iseng Tugas : Cerita Pendek "That Violin"



Orang sering berkata bahwa ketika lidah tak bisa berucap, musik bercerita.
Apakah itu benar?
Aku pun tidak tahu pasti.
Hanya satu hal yang kutahu, bahwa dengan musik kita berbicara.

Karena kita berbicara, kita mulai berbagi cerita.
Disinilah titik awal kisah kita dimulai.

Aku dan dirimu dipertemukan ditengah untaian symphony yang masih rumpang.
Tugasku dan tugasmu adalah mengisi kekosongan yang tercipta.
Disini, dimana dunia kita yang masih belum diketahui akhir ceritanya.


            Sebuah melodi terdengar sangat halus, sangat lembut dan terkadang sangat nyaring mengikuti tempo. Notasi demi notasi dilantunkan dengan merdu namun sayangnya, tak ada seorangpun yang mendengarkannya. Di menit selanjutnya, melodi dari lagu tersebut hilang lenyap, diganti oleh bunyi dengusan seorang lelaki.

“Cih, Debunya sudah banyak.”

            Ya. Aku melihat ke arah biolaku yang sudah dipenuhi oleh debu dibagian senar dan bawahnya. Spontan aku mengambil lap dan minyak kayu putih untuk membersihkannya. Tak sengaja pandanganku tertuju pada foto keluarga yang terduduk tak tersentuh. Entah mengapa aku merasa kesal. Aku merasa dengki. Pada kedua orangtuaku sendiri tentunya.
Hal ini aneh bagaimana seorang anak,  — ya apalagi aku anak tunggal membenci orangtuanya sendiri. Kesenangan mereka pada dunia bisnis meninggalkanku sendirian di rumah sebesar ini setiap hari. Bahkan kami pun tidak memiliki waktu bersenang-senang seperti keluarga pada umumnya di akhir pekan.
Kau tahu hal yang lebih parah? Aku tidak memiliki teman. Sebuah kalimat yang kesannya ‘tidak mungkin’ — karena menurut beberapa orang setidaknya kita memiliki 1 teman di dunia ini. Itulah kekuranganku, bersosialisasi. Bukannya aku tidak bisa, namun tidak bakat. Aku cenderung lebih suka menumpahkan kata-kata melalui sebuah melodi yang sinkron. Apakah itu salah?

Tidak terasa rasa kesalku membuat senar E di biolaku putus.

“Mungkin aku harus membeli beberapa senar baru dan senar cadangan.”

Bisa dicatat, inilah akhir dari liburan kelulusanku. Sepi bagaikan padang rumput sehabis hujan. Tidak ada suara lain selain bunyi biola. Suara handphone pun tidak bisa memecah keheningan.
Aku hanya berharap besok menjadi hari yang cukup baik. Setidaknya di hari pertama aku sekolah di bangku SMA.
Aku ingin seseorang mengisi bagian yang rumpang di hidupku..
Setidaknya sekali dalam hidupku…


            Aku mendengar bunyi alarm handphoneku berbunyi menandakan sang fajar sudah menunggu di ufuk timur. Hal itu secara tak langsung mengingatkanku kembali bahwa liburan telah berakhir.

Dan 1 jam kemudian, aku mendapati diriku duduk di kursi paling belakang sebuah kelas. Kelas 1-D merupakan kelas baru yang seharusnya menjadi keluarga untuk  satu tahun kedepan. Namun tampaknya anggota kelas ini masih sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Mungkin hawa keberadaanku cukup rendah di ruangan ini sehingga tidak ada orang yang melihat apalagi menyapaku.
Hal tersebut sudah biasa , namun setidaknya aku ingin mengikuti kegiatan yang aku sukai di sekolah ini. Bisa kau tebak — ya, ekstrakulikuler musik.

Harapan itu seperti jatuh bebas ke hadapanku dengan dibagikannya formulir pendaftaran ekstrakulikuler. Tanpa kalang kabut, aku menuliskan kata ‘Musik’ dengan cepat dan segera mengumpulkannya ke meja guru. Namun sesaat aku mengembalikan kertas tersebut ke meja guru, Wali kelasku —yang bisa dipanggil Bapak Darby, sudah melesat hilang.

“Guru sok sibuk. Aku pikir aku harus menghampirinya pulang sekolah nanti.”

 Tak sadar aku terus berbicara sendiri semejak kemarin, dan kegiatan itu terhenti ketika aku harus mulai berbicara lagi dengan seseorang, siapa lagi kalau bukan Pak Darby.

“Albert Laviano”

“Panggil saja Albert.” Ucapku singkat. Ini pertama kalinya aku memperkenalkan diri di sekolah.
“Jadi kamu ingin mengambil ekstra musik?”
“Ya, bisa perkenalkan saya dengan guru pembimbingnya?” tanyaku formal.
Tiga detik kemudian Pak Darby menjawab, “Kami tidak memiliki guru pendamping untuk ekstra Musik. Anggotanya pun hanya kamu” jawabnya sambil membereskan kertas-kertas dimejanya.
“Mengapa?” tanyaku heran.
 “Itu sulit untuk dijelaskan…sebenarnya..”
“Pak Darby! Lihat berkas dokumen tahun lalu ini!” seru seorang guru. Otomatis obrolanku terinterupsi, dan lihat! Dia langsung meninggalkanku tanpa memberi penjelasan. Dasar guru sok sibuk!

            Aku mulai melangkahkan kakiku ke ruang musik tersebut, berencana untuk melihat seperti apa tempatnya. Ruangan tersebut berada di pojok koridor lantai 2. Rasa dingin langsung menyengat telapak tanganku ketika aku menyentuh gagang pintu.

“Mungkin jarang ada yang masuk ke sini..”
            Ruangan yang cukup rapi. Bergaya arsitektur kuno, namun terlihat sedikit usang seperti lama tak tersentuh oleh manusia. Sinar matahari jingga yang masuk melalui jendela besar di kiri tembok, membuat ruangan tersebut semakin terlihat ‘hampa’.
Aku mengamati setiap sudutnyadan pandanganku terpaku pada sebuah tas biola yang terbuka di pojok ruangan, biola berwarna putih itu terlihat mencolok. Tanpa sadar bulu romaku berdiri.
Kuambil biola tersebut. Kumainkanbeberapa nada, namun aku terpaksa berhenti karena muncul seseorang perempuan dari toilet yang berteriak dengan suara nyaring. Tubuhnya tidak tinggi. Dia memiliki rambut pendek sebahu dengan kulit yang putih. Kesan pertamaku, dia adalah perempuan yang galak namun berenergik.

“Ngapain kamu pegang-pegang biola aku?!” tukasnya.
“Cuma iseng main doang. Galak banget” jawabku. Dia tidak berkata apa-apa lagi, dan menyambar biola nya dari tanganku. Lalu akupun bertanya lagi,
“Kamu siapa? Bukannya anggota ekstra musik hanya aku saja?”
“Aku juga.. anggota ekstra musik. Oh ya, Melody.” Ucapnya sambil menjulurkan tangannya.
“Albert.” aku membalas salamnya. Hangat.
“Kenapa kamu diam sendirian disini?” tanyaku kembali
“Aku suka diam disini sendirian.. disini tempatnya sang..” tiba-tiba ucapannya diganti dengan ketukan pintu.
“Ada orang di dalam?”
“Itu Pak Darby. Jangan bukakan pintu!” Spontan dia menarik tanganku dan memasukkan tubuhku bersama dengannya ke dalam lemari.
Sempit. Hanya itulah yang aku rasakan.
“Albert, Albert? Kamu ada disini?”
Aku sama sekali tak menghiraukan suara guru itu.Perlahan mataku menatap mata Melody dan dia menatap mataku dengan lembut. Dia memiliki mata berwarna hitam yang indah. Pandanganku turun pada kalung yang dia kenakan. Kalung berbentuk sayap berwarna putih itu amat menarik perhatian.
“Aku pikir, aku akan menceritakan insiden 10 tahun yang lalu sebelum dia masuk ekstra ini..” Pak Darby menggumam sambil melangkah keluar.
“Ayo kita keluar” suara Melody memecah keheningan. “Dia sudah pergi.”
“Kenapa kita harus bersembunyi?” tanyaku sambil melangkah keluar dari lemari.
“Aku punya masalah dengannya. Menyebalkan. Guru sok sibuk” jawabnya ketus.
“Haah! Betul dia sok sibuk!” jawabku merasa setuju.
“Ngomong-ngomong.. terimakasih ya. Udah nemenin aku sembunyi tadi hihi.” aku baru menyadari, dia terlihat manis saat tersenyum. Belum sempat aku menjawab, dia sudah bicara lagi.
“Mau aku ajarkan satu lagu tidak?” tawarnya. Pikirku ini menarik.
“Boleh saja. Lagu apa?”
“Dengar saja dulu, mungkin kamu tahu versi lainnya.”
Dia mulai bersiap dengan biolanya dan sebuah nada yang sangat indah terlantun. Lembut, dan membuatku berimajinasi. Aku reflek membayangkan sebuah hamparan padang rumput dengan tebaran bintang di langit malam. Sungguh indah.
“Claire De Lune” ucapnya. Aku taksadar bahwa lagunya sudah selesai.
“Sejak kapan ada versi biolanya?”
“Guruku menggubahnya kembali untuk aku belajar. Dulu aku memainkannya dengan piano. Mana biolamu? Kamu pemain biola juga kan? Sini aku ajari.” balasnya dengan cerewet, namun itu lucu.
“Senarnya putus, jadi tidak aku bawa ke sekolah.”
“Payah kamu. Ini pake biola aku saja dulu.”
Pertama kalinya, waktu sangat tidak terasa bagiku saat aku bersama dengan orang lain. Nada yang keluar dari biola tersebut membuatku tenang. Tiap menit nya terasa menyenangkan bagiku, dan aku ingin hal seperti ini terulang lagi.

“Rumahmu dimana?” tanyaku seusai dia memasukan biola kedalam tasnya.
“Hmm di Jalan Anggrek. Dekat perempatan depan.”
“Rumahmu tidak jauh dari rumahku. Pulang bareng denganku saja. Mau tidak?”
Dia mengangguk semangat.

            Aku merasa janggal saat sepeda yang kunaiki ini terisi oleh penumpang. Sepertinya kekosongan dalam diriku mulai terisi, setindaknya sepuluh persen.
“Aku baru pertama kali dibonceng seperti ini.” ucap Melody saat di lampu merah.
“Hmm.. Oh ya?”
“Aku tidak memiliki teman dan juga tidak dekat dengan keluargaku. Aku hanya bersahabat dengan biolaku.”
Aku bersumpah tidak salah dengar. Anak ini memiliki latar belakang yang sama denganku. Aku tidak percaya pada takdir.Aku hanya merasa ini suatu kebetulan.
“Hey lampunya sudah hijau!” teriaknya membuyarkan lamunanku.
Lima menit mengantarkanku ke depan rumahnya yang bercat putih. Dia mengucapkan terima kasih dan langsung lari ke dalam rumahnya. Aku masih terbayang saat berbicara dengannya, sungguh menyenangkan. Caranya saat bermain biola juga terbayang saat aku tidur. Ini terlalu awal untuk dinamakan cinta.

            Aku tidak pernah merasa sesemangat ini. Pagi hari aku kembali mengendarai sepeda. Mungkin ada rasa berharap pulang bersama Melody lagi? Aku masih tak yakin. Di jalan, aku bertemu dengan Pak Kasim, penjual bunga langganan mamaku. Dia selalu menyapaku setiap kali aku melewatinya dan hari ini pun begitu. Senyumnya khas sekali sehingga  aku reflek memberinya senyum.
Waktu mengantarkanku pada sekolah dengan tepat waktu. Selama pelajaran dimulai, aku merasa tak dapat berbaur. Aku tidak sadar terus-menerus memerhatikan jam dan mencountdown jam pulang sekolah. Apalagi alasannya kalau bukan —bisa kau tebak sendiri.

“Kau disini rupanya. Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku saat melihat Melody duduk membelakangi pintu sambil merangkak mencari sesuatu.
“Mencari kalungku. Itu hilang semejak kemarin dan aku sudah mencarinya berkali-kali tetap tidak ada.”
“Motif sayap berwarna putih?”
“Darimana kau tahu? Kau penguntit?”
“Bukan! Aku melihat kau mengenakannya saat terakhir kita bertemu.”
“Maaf..”
“Nanti kita cari lagi saja oke? Mumpung aku bawa biola, mau aku ajari satu lagu?”
“Kau mau gantian ajari aku? Boleh saja. Lagu apa?”
you must have know this song.” jawabku.

Aku memainkan beberapa nada yang menurutku cukup enak didengar. Aku tidak melihatnya sebelum aku selesai memainkan lagu tersebut dan ternyata, disaat aku menengadah kembali melihat wajahnya, dia sudah dibanjiri oleh air mata sambil bertepuk tangan riang.

“Bagus sekali! Bagus sekali! Aku sampai terharu dengarnya.. hiks.” ucapnya dengan riang.
“Ehm terimakasih. Aku jadi tersanjung. Kau tahu kan itu lagu apa?”
“Sebenarnya aku tak tahu. Kalau begitu beritahu aku.” jawabnya ingin tahu.
Reminiscence in Air. Judul yang jarang didengar sih. Ayo siapkan biolamu, aku ingin kamu bisa memainkannya untukku suatu hari.”

            Ini kedua kalinya aku menghabiskan sore dengan Melody. Tawa, ejekan, dan curhatan mulai kami lontarkan bergantian, baik melalui kata-kata ataupun juga dengan irama musik. Aku mengantarnya pulang lagi dan ini mungkin akan menjadi kebiasaan baruku.

“Aku masuk ke dalam duluan ya.” ucapnya saat aku tiba di rumahnya.
“Boleh aku menjemputmu besok pagi? Kita berangkat ke sekolah bersama?” Tanyaku yakin.
“Dengan senang hati, Albert.” balasnya manis.

--
            “Sial! Aku terlambat!” teriakku saat melihat jam. 06.20. Bagus. Untung masih ada waktu untuk menjemput Melody. Aku mulai mengayuh sepedaku ke arah rumah Melody dan melihat bahwa dia telah menungguku di depan gerbang rumahnya.

“Maaf aku terlambat. Aku telat bangun.”
“Kayak sapi aja kamu telat bangun, ayo sebentar lagi bel sekolah bunyi!” balasnya sambil naik ke atas sadel sepeda boncenganku.

Seperti biasa, di jalan aku bertemu Pak Kasim lagi. Aku sempat bercerita dengan Melody kalau Pak Kasim adalah salah satu orang yang lumayan sering berbicara denganku karena dia kenalan mamaku. Hari ini dia sedang merangkai bunga mawar putih dan spontan menyapaku dengan suara keras.

“Hey Albert! Jam segini kok baru pergi?” tanyanya heran.
“Telat bangun pak! hehe saya tadi baru jemput teman baru saya yang duduk dibelakang nih.Kenalkan Pak, Melody.” tukasku

Namun suasana aneh tiba-tiba kurasakan. Mengapa Pak Kasim tidak meresponku? Bukannya menyalami juluran tangan Melody, dia hanya tertegun diam memelototiku seakan tidak mengerti apa yang kukatakan.

“Ehm.. Udah mau bel nih pak kayanya, kita pergi duluan ya Pak.” Seruku sambil mulai mengayuh sepeda kembali. Aku tidak melihat kembali ke raut muka Pak Kasim dan terus mengayuh sepeda.

            Kelasku sudah menanti di depan mata. Ya 1-D. Aku berniat untuk melanjutkan tidur di jam pertama hingga jam ketiga. Pelajarannya tak menarik perhatianku. Sosiologi dan sejarah, lebih baik aku berjalan-jalan di alam bawah sadar saja. Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk menggeser meja dan melipat tangan untuk tidur, namun sesaat aku melihat sebuah kalung berbentuk sayap putih yang terjepit di laci mejaku. Percis dengan yang Melody punya. Bila dilihat-lihat, mejaku ini juga sedikit kotor dibandingkan meja yang lainnya. Banyak coretan tipe-ex, bolpen dan ow… aku menemukan tulisan dan sedikit bertanya-tanya dalam hati setelah melihat tulisan

I like Claire de Lune so much.


            Aku berjalan lagi-lagi menuju ruang musik. Mendapati Melody sedang berdiri menghadap jendela besar di ruangan tersebut.

“Lihat kemari.” Seruku ringan.

Melody reflek melihat kearahku dan melihat kalung yang kujuntaikan ditanganku. Matanya membesar dan lari menghampiriku.

“Darimana kau dapatkan ini?” tanyanya sambil menyambar kalung tersebut.
“Di...kelasku....apakah kamu pernah bermain ke kelasku?” tanyaku heran.
“Kelas 1-D kan? Aku tiap hari selalu bermain kesana..” jawabnya.
“Aku tidak pernah melihatmu meskipun hanya sekali.” Balasku masih bingung.
“Ya.. mungkin aku kasat mata di hadapanmu saat itu..” nadanya terdengar sedih.

Seperti biasa aku mengantarkannya pulang ke rumah, namun saat itu dia tak banyak bicara. Dia hanya mengucapkan terima kasih saat sampai rumah dan langsung masuk tanpa mengatakan apa-apa lagi dan itu membuatku penasaran.

            Hari demi hari berlangsung seperti itu. Menjemput dan mengantar pulang Melody seakan menjadi rutinitasku. Aku tidak merasa terganggu akan hal tersebut, malahan aku merasa ada yang kurang apabila tidak melihat dirinya dalam waktu satu hari. Hal itu terus berkembang sehingga menjadi sesuatu yang dinamakan dengan cinta. Aku merasa diriku tenggelam di tengah lautan kebahagiaan saat bertemu dengannya. Namun kebahagiaan itu terkikis sedikit demi sedikit saat kebenaran mulai terkuak sedikit demi sedikit.

            “Hai Pak Kasim!” sapaku saat pagi hari. Hari ini Melody sakit sehingga aku tidak perlu menjemputnya.
            “Hai Bert! Bagaimana sekolahmu? Kamu masih suka membawa biola ya.”
            “Ya..karena aku ikut ekstra musik jadi aku tiap hari membawa benda besar ini.” Sambil menunjuk biola di punggungku.
            “Ekstra musik ya.. ternyata ekstra itu masih ada rupanya..” gumam Pak Kasim.
            “Apa maksud Bapak?”
            “Kamu tidak tahu insiden 10 tahun yang lalu?Ah.. Aku jadi teringat lagi akan sosok siswa perempuan di gedung tersebut.” Bisik Pak Kasim.
            “Perempuan apa? Mengapa?” ucapku tak mengerti.
            “Sudahlah Bert, itu masa lalu tak perlu diungkit kembali.” Ucapnya sambil kembali ke dalam toko bunganya.

            Perkataan Pak Kasim membuatku penasaran. Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi 10 tahun yang lalu di gedung musik tersebut. Perlahan, kaki ku membawaku ke arah perpustakaan sekolah. Disitu aku mengoprek-oprek berkas sekolah beberapa tahun yang lalu. Aku menemukan sebuah artikel dalam koran yang usang mengenai insiden tersebut dan terkaget melihatnya.


Siswi Perempuan Ditemukan Tewas di Gedung Musik SMA

                (12/10/04) arxnews.com. Seorang siswi perempuan ditemukan tewas di gedung musik sebuah Sekolah Menengah Atas ****. Di laporkan jenazah korban tergeletak kaku sambil memegang alat musik. Hasil otopsi mengemukakan bahwa korban meninggal karena bunuh diri. Motifnya masih belum jelas karena korban diduga tidak memiliki kerabat ataupun teman dekat.

                Cuplikan artikel tersebut membuatku semakin penasaran. Aku mulai mendatangi Pak Darby dan bertanya sedikit mengenai insiden 10 tahun yang lalu.

                “Bolehkah saya tahu mengenai insiden di gedung musik  10 tahun yang lalu? “ tanyaku penasaran.
                “Karena kamu salah satu anggota ekstra musik, saya akan ceritakan..” jawabnya. Dia mulai berdeham dan menceritakan sesuatu.

                                                                                ***

               
                “Tidak!!!!!!!!!! Jangan sentuh aku!!!!” teriak seorang perempuan.
                “Lebih baik kamu diam saja atau kamu aku keluarkan dari sekolah ini!” bentak seorang guru laki-laki.
                “Ampun!! Tolong saya!!” seorang siswi berlari di koridor sekolah yang luas tersebut. Akhirnya dia singgah di tempat dimana ia selalu bermain musik sendiri. Berhubung dia adalah seorang violinist di sekolahnya.
Dia mengunci pintu ruangan tersebut yang tidak lain adalah gedung musik sekolah. Namun suara langkah kaki semakin mendekat. Dia mendengar suara tawa laki-laki yang ingin memperkosanya.

                “Mau lari kemana kamu? Lebih baik kamu keluar sebelum saya dobrak pintunya!”
Siswi perempuan itu panik. Dia menangis. Tak menyangka kehidupannya akan seperti ini. Tak ada orang yang mungkin menyelamatkannya saat ini. Lalu ia melihat tali yang cukup besar.

                “Tidak ada pilihan lain.” isak perempuan itu.

                Ia mengikatkan tali tersebut di sela-sela atap ruangan tersebut. Menyimpan beban hidupnya pada tali tersebut. Pandangannya tertuju pada biola miliknya yang masih terbuka di sudut ruangan. Ia menangis semakin keras. Penderitaan di dunia ini tak kunjung berakhir. Lalu yang ia lihat kemudian hanyalah pandangan gelap dan tubuh yang kaku.
               
                                                                                ***

                Aku tertegun mendengar cerita itu. Aku mengklaim sesuatu yang tak asing saat mendengar cerita tersebut. Entah mengapa aku teringat akan Melody dan tiba-tiba ingin bertemu dengannya.

                “Apa bapak tahu siapa nama siswi perempuan itu?” tanyaku makin penasaran.
                “Melody. Saya ingat jelas nama dan wajahnya meskipun itu sudah lama.” jawabnya sedih.
               
                Aku tiba-tiba merasa pusing. Seakan tak ada yang beres saat ini. Melody.Bunuh diri.Gedung musik.Biola. Hal-hal tersebut menjadi sebuah miskonsepsi yang tidak jelas. Kepalaku terasa berkabut tak bisa berpikir apapun. Pandanganku kosong tak bisa melihat jelas apapun.

                “Terimakasih Pak Darby.”
Aku berjalan pelan menjauhi pintu meninggalkan Pak Darby. Kakiku lemas. Aku menempelkan kepalaku di dinding. Kata-kata Pak Darby masih terngiang di benaknya.

Kenapa baru sekarang aku menyadarinya?
Kenapa harus Melody?
Aku menekan telapak tangan ke dadaku. Sakit.

                Perlahan kaki ku membawa ku kembali ke gedung musik. Aku melihat Melody dengan senyumnya yang khas tersenyum melihatku sambil menggengam biolanya.

                “Hei Albert! Mau dengar lagu baru?” tanyanya riang seakan tak ada yang terjadi.
                “Boleh.” Aku mendengarnya mulai memainkan biolanya. Suaranya indah seperti biasa. Setelah alunan tersebut berhenti, hanya ada keheningan. Tidak seorang dari kami bicara.

                “Aku mencintaimu.” jawabku memecah keheningan. Melody menatapku. Diam seribu bahasa.
“Tapi kurasa kau sudah bisa menebaknya.” ucapku lagi
“Dan percayalah padaku ketika kukatakan bahwa aku juga mencintaimu, Albert.” jawabnya tenang.
               
                Aku merasa berhenti bernafas. Jantungku serasa berdebar-debar. Apa aku salah dengar?
“Walaupun tak ada hal yang lain di dunia ini, percayalah aku mencintaimu.” ujarnya lagi pelan.
Entah mengapa aku menjadi sedih. Air mata tiba-tiba keluar dari sudut mataku. Aku hanya merasa takut dia harus pergi menuju alamnyaentah kapan aku tak tahu. Aku memeluknya perlahan. Dingin. Tubuhnya terasa dingin, tak ada kehangatan sedikitpun. Namun aku merasa bahwa cinta tak mengenal apapun sekalipun alam baka.

                “Aku ingin kau berjanji padaku.” ucap Melody perlahan di balik bahuku.
                “Apa?”
                “Aku ingin kau memainkan lagu kesukaanmu saat hari ulangtahunku disini. Aku ingin mendengarnya.” jawabnya
                “Kapan hari ulangtahunmu?” tanyaku kembali
                “2 hari lagi.”
                Aku baru mengetahui itu dan firasatku merasa tak enak. Namun aku berusaha menebas firasat itu. “I will.” ucapku sambil tetap memeluk erat Melody.

                Hari mulai berganti. Aku mendengar berita bahwa gedung musik tua tersebut akan dihancurkan. Ini benar benar gila. Aku mulai mendatangi pihak sekolah, mencoba menentang pembongkaran gedung musik itu dengan alasan bahwa masih ada anggota yang bertahan. Namun mereka tetap akan menghancurkannya dalam waktu 2 hari. Mereka berpendapat bahwa gedung itu sudah tak terpakai dan usang. Kemudian gedung tersebut akan digantikan dengan lapangan baseball.

                Mengingat bahwa usahaku sia-sia, aku mencoba bertemu dengan Melody ya, dia selalu ada di gedung musik aku tak tahu, apakah ini akan menjadi pertemuanku yang terakhir atau tidak, Namun aku mencoba datang meskipun aku tak sanggup lagi melihatnya. Kepahitan ini bagaikan laut yang tak ada batasnya.

                “Kau datang.” ucap Melody saat melihatku. “Melody.” Aku memanggil namanya.  “Apa kau akan pergi?” tanyaku kembali. “Mungkin… Selalu ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, Albert.” jawabnya sedih.
                Aku terdiam. Tak menjawab apapun. Perlahan aku memeluk tubuhnya kembali dan dia mulai membisikan sesuatu. “Berjanjilah kau akan menepati janjimu saat aku ulangtahun.” jawabnya sambil tertawa. Aku mempererat pelukanku. Rasa takut akan kehilangan benar benar menyelimutiku.

                Dan tibalah pada hari ulangtahun Melody. Aku berlari menuju gedung musik tersebut. Tepat sekali, sudah banyak mobil-mobil besar penghancur bangunan, namun belum ada satu pun yang beroperasi. Itu menjadi kesempatan untukku untuk masuk ke dalam gedung musik tersebut. Tak ada sosok perempuan disana, Namun aku masih melihat biola putihnya terbuka. Aku mengambil biola tersebut dan mulai melantunkan sebuah lagu. Reminiscence in Air.

                Ditengah untaian nada yang kumainkan, tiba-tiba aku melihat sesosok perempuan. Ya, itu Melody. Dia melambai kepadaku sambil tersenyum. Aku menghentikan permainanku dan berlari menghampirinya. Dia berkata, “Aku harus pergi.” terbitlah air mata di ujung matanya. Aku menggeleng. “Aku jatuh cinta kepadamu seperti aku jatuh tertidur.” ucapnya sambil tertawa. Bodoh, di saat seperti ini dia masih bisa tertawa. Mulai terdengar teriakan orang-orang untuk menyuruhku keluar dari gedung ini. Mungkin mereka mengetahui keberadaanku karena mendengar suara biola.
               
                “Lanjutkan permainanmu. Aku ingin mendengar untuk yang terakhir kali.”
Teriakan orang semakin banyak. Bunyi traktor sudah mulai terdengar namun aku tak peduli. Aku mulai memainkan lagu tadi. Sesaat air mata ku keluar seakan berteriak. Mungkin ada hukumnya bahwa laki-laki tak boleh menangis, namun tidak untuk hari ini. Aku masih melihat sosok Melody tersenyum melihatku saat bermain dan 2 menit kemudian dia menghilang.

            Traktor sudah menghancurkan bagian atap gedung. Namun permainan musikku belum berakhir. Runtuhan-runtuhan gedung tersebut sudah terpecah-belah sehingga aku bisa melihat langit dimana aku berdiri saat itu. Sayangnya, hantaman selanjutnya sangat keras sehingga runtuhannya mengenai diriku yang tengah bermain biola. Pandanganku tiba-tiba menghitam, aku merasa darah keluar dari pelipisku ,dadaku terasa sesak  seakan ada runtuhan besar yang menindihku dan itu membuat membuatku tak sadarkan diri. Mungkin untuk selamanya.

               
                Orang bilang, sad ending itu adalah cerita dimana ada dua insan yang tak dapat  bersatu. Namun aku tidak merasa begitu. Kau tahu? Aku melihatnya. Aku melihat Melody sekarang, di tempat yang sebetulnya juga tidak kuketahui. Dia tersenyum kemudian memelukku. Sekarang rasanya hangat. Aku merasa bisa bersamanya, dari saat ini sampai selamanya. Aku merasa belajar sesuatu. Cinta. Apabila ditanya pada siapapun jawabannya pasti berbeda. Ada yang bilang sulit diraih seperti menanti pelangi di malam hari. Ada juga yang bilang bahwa cinta adalah keajaiban yang membuat orang lemah menjadi kuat dan orang kuat menjadi lemah. Namun sesungguhnya, cinta hanyalah sebuah kata, sampai seseorang datang ke dalam hidupmu dan memberimu makna. Bagiku, cinta bisa diartikan sebagai mimpi yang menjadi kenyataan setiap kali aku bertemu denganmu.

1 komentar:

  1. The King Casino - Ventureberg
    The https://jancasino.com/review/merit-casino/ King Casino is owned ventureberg.com/ by British casino operator Crown Resorts nba매니아 and https://deccasino.com/review/merit-casino/ operated by Crown Resorts. It is owned by British ADDRESS: CASTLE worrione.com

    BalasHapus